Friday 12 November 2010

Berapa besar Anda Kehilangan Pelanggan?



100 pelanggan yg tidak puas hanya 4% saja yang komplain,sisanya just go away,91%di antaranya tidak akan kembali selamanya-service excellence
Jika kita memperhatikan hasil survei di atas maka setiap dari kita akan tahu cara menghitung berapa besar pelanggan kita yang “lari”.

Cara Pelanggan Komplain?
Tetapi sebelum Anda bisa mulai menghitung pertama yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara pelanggan komplain. Kalau begitu mari kita cek daftar berikut:
• Apakah kita menyediakan kotak saran?
• Apakah kita menyediakan hotlines di mana pelanggan bisa komplain atau menghubungi/sms jika mereka tidak puas?
• Apakah kita punya website, email address, facebook fans page di mana konsumen bisa menghubungi kita?
Jika tidak maka itu adalah Pekerjaan Rumah pertama kita; menyediakan dulu saluran bagi pelanggan untuk bisa komplain atau menyampaikan masukan bagi perusahaan kita. Jika Anda tidak punya sarana itu, berarti tertutup pula kesempatan untuk menerima masukan tetapi yang lebih penting adalah kita tidak bisa menghitung berapa sesungguhnya kita telah dan akan kehilangan pelanggan.

Cara Menghitung
Jika kita sudah menyediakan sarana bagi pelanggan untuk komplain, misalkan, kita menerima 15 komplain dari pelanggan lewat berbagai salauran tadi, maka sesungguhnya kita telah kehilangan pelanggan sebanyak 360 pelanggan yang tidak komplain dan juga tidak menyampaikan keluhannya. Dari 360 pelanggan tersebut akan ada 91% atau 327 pelanggan yang tidak akan kembali selamanya. Saya rasa itu bukan angka yang kecil untuk diabaikan.
Karena itu anjurannya adalah: perbaiki cara Anda melayani pelanggan. Bisnis kita hidup dari pelanggan yang loyal , atau pelanggan yang kembali lagi dan lagi.

Sunday 28 March 2010

Bagaimana Rasanya Tertinggal Pesawat?


Bagi orang yang sangat merencanakan segala sesuatu pengalaman tertinggal pesawat bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Bulan lalu saya mengalaminya. Dalam penerbangan pulang dari Ende saya harus mendarat di Kupang untuk menanti penerbangan Garuda menuju ke Jakarta via Denpasar.
Karena jarak antara waktu mendarat di Kupang dan berangkat lagi masih lebih kurang 2 jam, saya memberanikan diri keluar dari bandara untuk menemui calon klien yang berdomisili di Kupang. Saking asyiknya dan keteledoran saya mengantisipasi waktu, saya baru kembali ke bandara El Tari Kupang pas pukul 14.00 di mana pada saat itu pintu pesawat sudah ditutup dan pesawat sedang didorong dari posisi parkirnya. Perasaan sesak di dada dan kebingungan karena langsung terlintas di kepala saya pertanyaan “Bagaimana caranya saya kembali ke Jakarta hari ini?”.
Petugas Garuda yang menghentikan laju saya untuk masuk ke ruang keberangkatan segera meminta tiket saya dan mengatakan akan membantu saya mencarikan penerbangan lain. Satu-satunya yang masih mungkin adalah menggunakan pesawat dengan inisial SA yang akan berangkat ke Jakarta via Surabaya pukul 17.00-an. Seorang petugas dari kantor Garuda mempersilahkan saya memasuki kantor Station Garuda di bandara sambil menunggu rekannya yang mengurus pemesanan tiket dari kantor SA. Tampak sekali upaya mereka (petugas darat Garuda) untuk menyenangkan saya selagi saya menunggu. Station Manager Garuda berusaha mengajak saya mengobrol, memberikan surat kabar untuk dibaca, dan menyediakan air minum.
Saya sangat tidak sabar untuk mengetahui proses pembelian tiket dari SA sehingga saya menyusul ke kantornya yang terletak di bagian luar bandara. Saya memasuki kantor SA untuk menanyakan apakah ada petugas Garuda yang memesankan tiket buat saya. Petugas SA yang saya temui tampak sedang menghitung segepok uang dan tidak terlalu antusias melayani saya sambil menjawab sekenanya bahwa tiket habis. Agak aneh sebenarnya. Bukankah dia seharusnya sangat antusias ketika ada calon penumpang memasuki kantornya? Bukankah ini adalah moment of truth, saat di mana seorang pelanggan bersentuhan dengan perusahaan kita, di saat itulah momen kebenaran dari apa dan siapa bisnis kita di mata pelanggan ditampilkan. Persentuhan yang sangat sebentar tersebut menimbulkan kesan yang sangat buruk di mata saya sebagi calon penumpang yang dalam keadaan sangat membutuhkan. Kalau saja petugas SA tadi memiliki sikap melayani yang sangat tinggi maka saat itu adalah saat yang paling tepat untuk memberikan kesan baik di mata calon penumpang. Yang terjadi justru sebaliknya, petugas Garuda yang berjanji akan membantu saya kembali menenangkan saya dan meminta saya untuk menunggu di kantor Garuda dan dia akan tetap mengupayakan mendapatkan tiket dari SA.
Beberapa menit kemudian petugas Garuda datang kepada saya untuk memberitahukan bahwa dia berhasil mendapatkan tiket buat saya dan menyebutkan harga dari tiket tersebut. Saya sudah tidak punya pilihan dan mengiyakan saja harga yang disebutkan tersebut.
Saya kemudian di bawa ke counter check-in SA. Lagi-lagi saya melihat betapa tidak antusiasnya pelayanan dari petugas counter check-in SA tersebut. Yang harus pontang-panting kembali ke kantor SA adalah petugas Garuda yang sebenarnya hanya dalam posisi membantu saya. Bukankah yang akan menikmati tambahan sales adalah Sriwijaya Air. Mengapa orang lain yang lebih antusias membantu?

Sunday 7 March 2010

The Invisible Customer (Pelanggan yang Tak Kelihatan)


Pagi ini saya mengunjungi sebuah pusat belanja berinisial “S” yang sangat tersohor itu yang berlokasi di jalan Thamrin. Lokasi yang sangat prima ini sangat bertolak belakang dengan situasi di area parkirnya yang tampak sepi-sepi saja. Padahal, di beberapa pusat belanja lain di sekitar situ seperti Plaza Indonesia dan Grand Indonesia, hari Minggu adalah hari yang paling ditunggu untuk berjualan, hari yang padat, dan susah mencari tempat parkir apalagi ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 .

Saya masuk dari pintu samping kiri toko. Kalau beberapa waktu lalu ada beberapa petugas berpakaian batik di pintu masuk, hari ini tidak ada lagi. Beberapa SPG tampak sedang sibuk sendiri dengan pekerjaannya dan beberapa di antaranya bersolek di counternya secara kasat mata.

Saya berhasil melewati lantai 1 tanpa disapa seorang pun dari SPG-SPG yang seharusnya senang jika ada pengunjung masuk ke tokonya. Bukankah itu adalah tujuan dari keberadaan sebuah toko dibuka, dan itu adalah tugas utama mereka (para SPG yang telah dibayar oleh masing-masing pemilik merek dari barang dagangan) untuk membantu dan melayani kebutuhan pengunjung pusat belanja tersebut. Apakah saya dan beberapa pengunjung lain adalah pelanggan yang tidak kelihatan sehingga luput dari sapaan mereka?

Saya berhasil naik ke lantai 2 dan lantai-lantai selanjutnya dengan selamat, lagi-lagi tanpa mendapat tegur sapa dari seorangpun. Saya tertarik dengan sebuah tanda yang mengatakan bahwa Handycraft ada di lantai 7. Maka saya bergerak menuju ke lantai tersebut. Benar saja, rupanya ini adalah lantai yang paling dulu diselesaikan. Tampaknya ini adalah kekuatan mereka.

Penampilan satu lantai ini benar-benar baru dan tampak modern sekali. Berbeda dengan lantai-lantai di bawahnya. Yang paling menyolok mata saya adalah banyaknya jumlah staff penjualan dengan seragam barunya. Sungguh apik. Penerangannya pun berbeda dibanding lantai-lantai yang belum selesai dibenahi.

Saya mengelilingi setiap pelosok dari lantai tersebut sambil terkagum-kagum dengan kelengkapan produk handycraft-nya. Lagi-lagi, terasa ada yang kurang. Ya…, lagi-lagi, saya tidak terlihat sehingga dari sekian banyak staff penjualan yang ada di seluruh lantai tersebut, tidak ada seorangpun yang menyapa, paling sedikit untuk mengucapkan: “Selamat datang”, atau “Selamat pagi/siang”. Mereka lebih memilih bercanda dengan sesama mereka (tampak pada foto).

Pusat belanja yang seharusnya mencerminkan keramahan bangsa Indonesia sesuai dengan impian pendirinya benar-benar telah kehilangan jati dirinya. Pembenahan fisik seolah-olah menjadi tujuan utama. Lupa atau tidak mampu memberikan pelayanan. Tidak heran lapangan parkir yang tidak seberapa luas itu tak juga kunjung penuh. Nyata sekali dampak dari lemahnya pelayanan terhadap keberhasilan merebut hati pengunjung. Semoga ini menjadi pelajaran bagi setiap peritel yang ingin menggaet lebih banyak pengunjung.

Saturday 27 February 2010

Maaf, Kami belum siap


Pagi ini waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.00 ketika saya dan keluarga tiba di mall Pondok Indah 2 untuk mengisi perut yang belum terisi sejak pagi hari. Kami menuju food court di lantai atas mall tersebut dan membeli beberapa makanan dari beberapa counter makanan.

Saya menuju ke sebuah gerai makanan yang menjual sate dengan brand yang sangat terkenal dan memesan sebuah menu sate yang sudah lama tidak saya makan. Saya agak kecewa ketika petugas yang melayani mengatakan bahwa menu tersebut tidak kami sediakan di XXX Express (XXX adalah nama dari gerai makanan tersebut dan express menandakan bahwa ini hanya gerai kecil yang menempati sebuah kios kecil saja di food court). Yang membuat saya kecewa tentu karena sebelumnya saya pernah membeli menu yang saya maksud tadi di situ.

Akhirnya saya dan keluarga sudah mendapatkan makanan kami masing-masing. Setelah menyantap makanan saya merasa ingin minum root beer dari sebuah merk restoran yang juga sangat terkenal dengan root beer-nya. Saya menghampiri gerai AW (AW adalah inisial nama dari gerai yang menjual minuman tersebut) dan memesan 1 gelas root beer. Alangkah kagetnya saya ketika saya mendapatkan jawaban bahwa minuman tersebut belum siap disajikan karena masih dalam perjalanan. Kali ini saya betul-betul kecewa. Kali ini rasa kecewa tidak sedikit seperti tidak-bisanya saya mendapatkan sate sebelumnya. Kecewa karena harapan saya tidak terjawab. Kecewa karena sungguh tidak masuk akal sebuah produk utama yang dijual justru produk itulah yang kosong. Kalau saja yang saya cari bukanlah produk unggulan maka saya bisa maklum jika terjadi kekosongan atau belum ada atau bahkan jika dikatakan tidak ada lagi. Tetapi untuk sebuah produk unggulan? Sungguh tak bisa dimengerti. Saya kecewa sekali.

Berapa banyak dari pebisnis melakukan hal serupa? Pertama, gagal siap ketika mereka membuka gerainya. Pintu toko dibuka, dan staff mereka masih sibuk berbenah, beberapa orang sedang menyapu dengan tumpukan debu dan kotoran berserakan di lantai, sehingga kenyamanan pelanggan dikorbankan. Jika Anda belum siap 100% jangan buka toko Anda. Atau ketika Anda membuka toko, memang Anda siap melayani pelanggan.

Kedua, gagal memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan. Seharusnya kita tahu bahwa ada produk-produk yang menjadi unggulan sehingga ketersediaannya vital untuk senantiasa terjaga.

Out of stock berarti kehilangan penjualan sekaligus mengecewakan pelanggan.

Wednesday 3 February 2010

Mengapa Escalatornya Jalur Naik Semua?


Pernahkah Anda berkunjung ke sebuah mal yang memiliki escalator berdampingan untuk jalur escalator ke arah naik dan yang arah turun? Itu adalah escalator normal pada umumnya. Di sebuah mal yang tidak begitu ramai di Jakarta Utara, terdapat satu escalator yang sengaja di-set oleh pengelola mal menjadi jalur naik keduanya. Apa tujuannya? Ternyata pengelola mal berpikir bahwa dengan cara begitu maka arus konsumen akan lebih tersebar ke arah lain karena dengan demikian maka pengunjung mal yang notabene adalah pelanggan mal harus mencari jalan lain ke arah kiri dan kanan lantai yang dia naiki tadi untuk dapat kembali turun ke tempat asal kedatangannya.
Apakah ini ide cerdas? Sekilas dan dalam jangka pendek kelihatannya seperti trik yang cerdas namun dalam jangka panjang dan secara amat mendasar menunjukkan betapa tidak kreatifnya pengelola mal tersebut dalam mengelola mal-nya.
Kedua, tindakan untuk memaksa pelanggan bersusah payah mencari jalan lain bukanlah hal yang menggembirakan bagi pelanggan. Yang ada adalah umpatan dari beberapa pelanggan yang menilai pengelola mal sebagai pebisnis yang tidak cerdas dan tidak mengutamakan kepentingan pelanggan.
Masih banyak kisah-kisah lain yang terjadi di beberapa shopping mal lainnya. Akhir-akhir ini saya melihat semakin banyak tempat parkir yang lokasinya bagus dipagari dengan tali sehingga pelanggan yang datang terlebih dahulu bukan mendapatkan tempat yang baik dan strategis melainkan harus parkir lebih tinggi dan lebih jauh dari sasaran pelanggan seperti yang dilakukan sebuah mal baru di kawasan bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Hal ini dilakukan oleh pengelola mal untuk memaksa pelanggan parkir di tempat yang lebih tinggi sehingga akan terdapat arus pelanggan ke arah yang dituju oleh pelanggan yang dipaksa ke atas tadi. Lagi-lagi sebuah ide yang dikiranya cemerlang namun sesungguhnya mengundang caci maki pelanggan.
Konsep dari pelanggan adalah raja masih sekedar retorika yang tak terbukti. Ini adalah kelemahan sektor properti retail di Indonesia pada umumnya. Hanya sedikit dari pengelola mal yang betul-betul memikirkan pelanggan secara baik dan benar. Keunggulan lokasi hanyalah menjadi satu-satunya keunggulan tanpa nilai tambah lain. Jika itu saja yang dimilikinya maka tidak heran mal tersebut tidak mampu menarik lebih banyak penyewa. Pada ujungnya mal yang gagal menarik lebih banyak penyewa akan membuatnya tidak mampu menarik lebih banyak pengunjung (pelanggan).
Pelanggan yang kapok membuat mal makin sepi sehingga penyewa juga enggan membuka usahanya di mal tersebut. Kedua faktor tadi betul-betul merupakan dua hal yang memiliki keterikatan yang kuat. Ibarat telur sama ayam. Mana dulu yang harus dibenahi. Pelanggan yang banyak mengundang penyewa untuk berdagang di sana atau sebaliknya. Namun ulah pengelola mal yang tidak cerdas dalam menyelesaikan masalah sepinya pengunjung bisa menjadi tindakan yang kontra produktif. Pikirkan itu!