Sunday 28 March 2010

Bagaimana Rasanya Tertinggal Pesawat?


Bagi orang yang sangat merencanakan segala sesuatu pengalaman tertinggal pesawat bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Bulan lalu saya mengalaminya. Dalam penerbangan pulang dari Ende saya harus mendarat di Kupang untuk menanti penerbangan Garuda menuju ke Jakarta via Denpasar.
Karena jarak antara waktu mendarat di Kupang dan berangkat lagi masih lebih kurang 2 jam, saya memberanikan diri keluar dari bandara untuk menemui calon klien yang berdomisili di Kupang. Saking asyiknya dan keteledoran saya mengantisipasi waktu, saya baru kembali ke bandara El Tari Kupang pas pukul 14.00 di mana pada saat itu pintu pesawat sudah ditutup dan pesawat sedang didorong dari posisi parkirnya. Perasaan sesak di dada dan kebingungan karena langsung terlintas di kepala saya pertanyaan “Bagaimana caranya saya kembali ke Jakarta hari ini?”.
Petugas Garuda yang menghentikan laju saya untuk masuk ke ruang keberangkatan segera meminta tiket saya dan mengatakan akan membantu saya mencarikan penerbangan lain. Satu-satunya yang masih mungkin adalah menggunakan pesawat dengan inisial SA yang akan berangkat ke Jakarta via Surabaya pukul 17.00-an. Seorang petugas dari kantor Garuda mempersilahkan saya memasuki kantor Station Garuda di bandara sambil menunggu rekannya yang mengurus pemesanan tiket dari kantor SA. Tampak sekali upaya mereka (petugas darat Garuda) untuk menyenangkan saya selagi saya menunggu. Station Manager Garuda berusaha mengajak saya mengobrol, memberikan surat kabar untuk dibaca, dan menyediakan air minum.
Saya sangat tidak sabar untuk mengetahui proses pembelian tiket dari SA sehingga saya menyusul ke kantornya yang terletak di bagian luar bandara. Saya memasuki kantor SA untuk menanyakan apakah ada petugas Garuda yang memesankan tiket buat saya. Petugas SA yang saya temui tampak sedang menghitung segepok uang dan tidak terlalu antusias melayani saya sambil menjawab sekenanya bahwa tiket habis. Agak aneh sebenarnya. Bukankah dia seharusnya sangat antusias ketika ada calon penumpang memasuki kantornya? Bukankah ini adalah moment of truth, saat di mana seorang pelanggan bersentuhan dengan perusahaan kita, di saat itulah momen kebenaran dari apa dan siapa bisnis kita di mata pelanggan ditampilkan. Persentuhan yang sangat sebentar tersebut menimbulkan kesan yang sangat buruk di mata saya sebagi calon penumpang yang dalam keadaan sangat membutuhkan. Kalau saja petugas SA tadi memiliki sikap melayani yang sangat tinggi maka saat itu adalah saat yang paling tepat untuk memberikan kesan baik di mata calon penumpang. Yang terjadi justru sebaliknya, petugas Garuda yang berjanji akan membantu saya kembali menenangkan saya dan meminta saya untuk menunggu di kantor Garuda dan dia akan tetap mengupayakan mendapatkan tiket dari SA.
Beberapa menit kemudian petugas Garuda datang kepada saya untuk memberitahukan bahwa dia berhasil mendapatkan tiket buat saya dan menyebutkan harga dari tiket tersebut. Saya sudah tidak punya pilihan dan mengiyakan saja harga yang disebutkan tersebut.
Saya kemudian di bawa ke counter check-in SA. Lagi-lagi saya melihat betapa tidak antusiasnya pelayanan dari petugas counter check-in SA tersebut. Yang harus pontang-panting kembali ke kantor SA adalah petugas Garuda yang sebenarnya hanya dalam posisi membantu saya. Bukankah yang akan menikmati tambahan sales adalah Sriwijaya Air. Mengapa orang lain yang lebih antusias membantu?

Sunday 7 March 2010

The Invisible Customer (Pelanggan yang Tak Kelihatan)


Pagi ini saya mengunjungi sebuah pusat belanja berinisial “S” yang sangat tersohor itu yang berlokasi di jalan Thamrin. Lokasi yang sangat prima ini sangat bertolak belakang dengan situasi di area parkirnya yang tampak sepi-sepi saja. Padahal, di beberapa pusat belanja lain di sekitar situ seperti Plaza Indonesia dan Grand Indonesia, hari Minggu adalah hari yang paling ditunggu untuk berjualan, hari yang padat, dan susah mencari tempat parkir apalagi ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 .

Saya masuk dari pintu samping kiri toko. Kalau beberapa waktu lalu ada beberapa petugas berpakaian batik di pintu masuk, hari ini tidak ada lagi. Beberapa SPG tampak sedang sibuk sendiri dengan pekerjaannya dan beberapa di antaranya bersolek di counternya secara kasat mata.

Saya berhasil melewati lantai 1 tanpa disapa seorang pun dari SPG-SPG yang seharusnya senang jika ada pengunjung masuk ke tokonya. Bukankah itu adalah tujuan dari keberadaan sebuah toko dibuka, dan itu adalah tugas utama mereka (para SPG yang telah dibayar oleh masing-masing pemilik merek dari barang dagangan) untuk membantu dan melayani kebutuhan pengunjung pusat belanja tersebut. Apakah saya dan beberapa pengunjung lain adalah pelanggan yang tidak kelihatan sehingga luput dari sapaan mereka?

Saya berhasil naik ke lantai 2 dan lantai-lantai selanjutnya dengan selamat, lagi-lagi tanpa mendapat tegur sapa dari seorangpun. Saya tertarik dengan sebuah tanda yang mengatakan bahwa Handycraft ada di lantai 7. Maka saya bergerak menuju ke lantai tersebut. Benar saja, rupanya ini adalah lantai yang paling dulu diselesaikan. Tampaknya ini adalah kekuatan mereka.

Penampilan satu lantai ini benar-benar baru dan tampak modern sekali. Berbeda dengan lantai-lantai di bawahnya. Yang paling menyolok mata saya adalah banyaknya jumlah staff penjualan dengan seragam barunya. Sungguh apik. Penerangannya pun berbeda dibanding lantai-lantai yang belum selesai dibenahi.

Saya mengelilingi setiap pelosok dari lantai tersebut sambil terkagum-kagum dengan kelengkapan produk handycraft-nya. Lagi-lagi, terasa ada yang kurang. Ya…, lagi-lagi, saya tidak terlihat sehingga dari sekian banyak staff penjualan yang ada di seluruh lantai tersebut, tidak ada seorangpun yang menyapa, paling sedikit untuk mengucapkan: “Selamat datang”, atau “Selamat pagi/siang”. Mereka lebih memilih bercanda dengan sesama mereka (tampak pada foto).

Pusat belanja yang seharusnya mencerminkan keramahan bangsa Indonesia sesuai dengan impian pendirinya benar-benar telah kehilangan jati dirinya. Pembenahan fisik seolah-olah menjadi tujuan utama. Lupa atau tidak mampu memberikan pelayanan. Tidak heran lapangan parkir yang tidak seberapa luas itu tak juga kunjung penuh. Nyata sekali dampak dari lemahnya pelayanan terhadap keberhasilan merebut hati pengunjung. Semoga ini menjadi pelajaran bagi setiap peritel yang ingin menggaet lebih banyak pengunjung.