Saturday 27 February 2010

Maaf, Kami belum siap


Pagi ini waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11.00 ketika saya dan keluarga tiba di mall Pondok Indah 2 untuk mengisi perut yang belum terisi sejak pagi hari. Kami menuju food court di lantai atas mall tersebut dan membeli beberapa makanan dari beberapa counter makanan.

Saya menuju ke sebuah gerai makanan yang menjual sate dengan brand yang sangat terkenal dan memesan sebuah menu sate yang sudah lama tidak saya makan. Saya agak kecewa ketika petugas yang melayani mengatakan bahwa menu tersebut tidak kami sediakan di XXX Express (XXX adalah nama dari gerai makanan tersebut dan express menandakan bahwa ini hanya gerai kecil yang menempati sebuah kios kecil saja di food court). Yang membuat saya kecewa tentu karena sebelumnya saya pernah membeli menu yang saya maksud tadi di situ.

Akhirnya saya dan keluarga sudah mendapatkan makanan kami masing-masing. Setelah menyantap makanan saya merasa ingin minum root beer dari sebuah merk restoran yang juga sangat terkenal dengan root beer-nya. Saya menghampiri gerai AW (AW adalah inisial nama dari gerai yang menjual minuman tersebut) dan memesan 1 gelas root beer. Alangkah kagetnya saya ketika saya mendapatkan jawaban bahwa minuman tersebut belum siap disajikan karena masih dalam perjalanan. Kali ini saya betul-betul kecewa. Kali ini rasa kecewa tidak sedikit seperti tidak-bisanya saya mendapatkan sate sebelumnya. Kecewa karena harapan saya tidak terjawab. Kecewa karena sungguh tidak masuk akal sebuah produk utama yang dijual justru produk itulah yang kosong. Kalau saja yang saya cari bukanlah produk unggulan maka saya bisa maklum jika terjadi kekosongan atau belum ada atau bahkan jika dikatakan tidak ada lagi. Tetapi untuk sebuah produk unggulan? Sungguh tak bisa dimengerti. Saya kecewa sekali.

Berapa banyak dari pebisnis melakukan hal serupa? Pertama, gagal siap ketika mereka membuka gerainya. Pintu toko dibuka, dan staff mereka masih sibuk berbenah, beberapa orang sedang menyapu dengan tumpukan debu dan kotoran berserakan di lantai, sehingga kenyamanan pelanggan dikorbankan. Jika Anda belum siap 100% jangan buka toko Anda. Atau ketika Anda membuka toko, memang Anda siap melayani pelanggan.

Kedua, gagal memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan. Seharusnya kita tahu bahwa ada produk-produk yang menjadi unggulan sehingga ketersediaannya vital untuk senantiasa terjaga.

Out of stock berarti kehilangan penjualan sekaligus mengecewakan pelanggan.

Wednesday 3 February 2010

Mengapa Escalatornya Jalur Naik Semua?


Pernahkah Anda berkunjung ke sebuah mal yang memiliki escalator berdampingan untuk jalur escalator ke arah naik dan yang arah turun? Itu adalah escalator normal pada umumnya. Di sebuah mal yang tidak begitu ramai di Jakarta Utara, terdapat satu escalator yang sengaja di-set oleh pengelola mal menjadi jalur naik keduanya. Apa tujuannya? Ternyata pengelola mal berpikir bahwa dengan cara begitu maka arus konsumen akan lebih tersebar ke arah lain karena dengan demikian maka pengunjung mal yang notabene adalah pelanggan mal harus mencari jalan lain ke arah kiri dan kanan lantai yang dia naiki tadi untuk dapat kembali turun ke tempat asal kedatangannya.
Apakah ini ide cerdas? Sekilas dan dalam jangka pendek kelihatannya seperti trik yang cerdas namun dalam jangka panjang dan secara amat mendasar menunjukkan betapa tidak kreatifnya pengelola mal tersebut dalam mengelola mal-nya.
Kedua, tindakan untuk memaksa pelanggan bersusah payah mencari jalan lain bukanlah hal yang menggembirakan bagi pelanggan. Yang ada adalah umpatan dari beberapa pelanggan yang menilai pengelola mal sebagai pebisnis yang tidak cerdas dan tidak mengutamakan kepentingan pelanggan.
Masih banyak kisah-kisah lain yang terjadi di beberapa shopping mal lainnya. Akhir-akhir ini saya melihat semakin banyak tempat parkir yang lokasinya bagus dipagari dengan tali sehingga pelanggan yang datang terlebih dahulu bukan mendapatkan tempat yang baik dan strategis melainkan harus parkir lebih tinggi dan lebih jauh dari sasaran pelanggan seperti yang dilakukan sebuah mal baru di kawasan bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Hal ini dilakukan oleh pengelola mal untuk memaksa pelanggan parkir di tempat yang lebih tinggi sehingga akan terdapat arus pelanggan ke arah yang dituju oleh pelanggan yang dipaksa ke atas tadi. Lagi-lagi sebuah ide yang dikiranya cemerlang namun sesungguhnya mengundang caci maki pelanggan.
Konsep dari pelanggan adalah raja masih sekedar retorika yang tak terbukti. Ini adalah kelemahan sektor properti retail di Indonesia pada umumnya. Hanya sedikit dari pengelola mal yang betul-betul memikirkan pelanggan secara baik dan benar. Keunggulan lokasi hanyalah menjadi satu-satunya keunggulan tanpa nilai tambah lain. Jika itu saja yang dimilikinya maka tidak heran mal tersebut tidak mampu menarik lebih banyak penyewa. Pada ujungnya mal yang gagal menarik lebih banyak penyewa akan membuatnya tidak mampu menarik lebih banyak pengunjung (pelanggan).
Pelanggan yang kapok membuat mal makin sepi sehingga penyewa juga enggan membuka usahanya di mal tersebut. Kedua faktor tadi betul-betul merupakan dua hal yang memiliki keterikatan yang kuat. Ibarat telur sama ayam. Mana dulu yang harus dibenahi. Pelanggan yang banyak mengundang penyewa untuk berdagang di sana atau sebaliknya. Namun ulah pengelola mal yang tidak cerdas dalam menyelesaikan masalah sepinya pengunjung bisa menjadi tindakan yang kontra produktif. Pikirkan itu!