Saturday, 14 February 2015

Sukses Air Asia Meraup Pasar Indonesia

Setelah sekian lama meninggalkan Garuda saya kembali harus menggunakan maskapai kebanggaan bangsa Indonesia untuk terbang ke Solo. Maskapai Air Asia yang selama ini saya gunakan tidak terbang ke Solo dari Jakarta. Mengapa saya lebih suka melakukan penerbangan dengan Air Asia?
Berikut adalah bedah kasus mengapa Air Asia sukses meraup pasar Indonesia.

Kenyamanan
Masih ingat awal kehadiran Air Asia? Penerbangan murah yang segera merebut hari banyak orang ini sempat bikin heboh. Pasalnya naik pesawat tidak ubahnya seperti naik bis antar kota antar provinsi. Orang harus berebut-rebut untuk naik pesawat karena tidak ada nomor bangku sehingga penumpang harus berlari-lari untuk mendapatkan tempat duduk yang diinginkannya. Segera saja gaya Air Asia tersebut menuai protes. Bagusnya mereka mendengar suara konsumen dengan baik dan segera merubah layanan reservasi dengan memberikan penomoran bangku meskipun konsumen belum bisa memilih. Sekarang sudah jauh lebih nyaman lagi, konsumen bisa memesan bangku sejak dari booking tiket.

Transparansi
Di Garuda Anda bisa memilih bangku? Jika dilihat di website memang bisa tetapi jangan heran, meskipun Anda sudah pesan lebih dulu jangan harap bangku pilihan Anda bisa dipilih semua karena untuk kelas-kelas yang lebih rendah hanya terbuka pilihan yang terbatas. Sedangkan bangku-bangku favorit hanya untuk kelas yang lebih mahal. Di Air Asia jika Anda bersedia membayar lebih maka Anda bisa memilih bangku manapun selama masih belum ada yang membeli. Saya memilih layanan ala Air Asia yang lebih transparan. Mau tempat lapang bayar lebih mahal, mau lebih murah pilih yang biasa.

Web Check In 2 minggu di muka
Kenyaman lain yang diberikan adalah penumpang bisa melakukan web check ini 2 minggu di muka. Bayangkan dengan Garuda, web check in baru bisa dilakukan 12 jam menjelang keberangkatan. Layanan check in di kantor layanan Garuda? Hanya bisa 24 jam sebelum keberangkatan dan sudah ditutup 3 jam sebelum keberangkatan. Saya pernah menyaksikan calon penumpang yang mampir ke kantor Garuda untuk check in tetapi ditolak karena sudah kurang dari 3 jam. Sebaliknya saya sendiri pernah mau melakukan check in ditolak karena belum 24 jam menjelang keberangkatan. Ooh...susahnya check in di Garuda. Di Air Asia, dua minggu sebelum keberangkatan saya bisa check ini dan bisa print sendiri boarding pass.    

Makanan harus beli?
Bukan hal yang perlu diributkan. Di Garuda mahal karena sudah termasuk makanan? Bukan hal yang penting sekali. Justru di Air Asia jika butuh bisa beli, bisa pilih lagi. Kualitas makanannya tidak buruk. Kalau pesan on line lebih murah. Ada cukup banyak pilihan. Sedangkan makanan di Garuda pilihannya tidak ada. Menunya tidak beragam. Hanya ada 2 pilihan saja. Rasanya sangat biasa khususnya penerbangan domestik.

Sistem IT yang canggih
Bukan kali ini saja saya harus stres dengan pemesanan tiket via website Garuda. Untuk membeli tiket ke Solo saya harus menghabiskan waktu lebih total dari 1 jam. Saya mulai dengan mencari kota tujuan, menentukan jam yang dipilih dan seterusnya sampai ke tahap pembayaran. Setelah semua diisi tibalah pada konfirmasi pembayaran. Di situlah saya harus menghadapi fakta bahwa pembayaran saya error. Saya ulangi lagi semua proses dan lagi-lagi nyangkut di pembayaran. Akhirnya saya harus telepon ke call center Garuda. Setelah menghabiskan waktu 10 menit sendiri saya lagi-lagi berhadapan dengan fakta bahwa membayar dengan kartu kredit via telepon gagal dilakukan. Akhirnya saya harus membayar via internet banking yang untungnya bisa saya lakukan.

Ditelepon Call Center Garuda
Hebatnya sore tadi saya menerima telepon dari call center Garuda yang mengingatkan bahwa besok penerbangan saya pukul 16.45. Saya mengiyakan dan lantas bertanya apakah bisa check ini via telepon? Di jawab, “Tidak bisa.” Apakah bisa via web check in? “Belum bisa Pak, tunggu 12 jam sebelum keberangkatan. Apakah bisa ke kantor Garuda? “Ow, belum bisa karena belum 24 jam menjelang keberangkatan”. Susahnya memakai jasa Garuda.

Konsisten Mendengar Suara Konsumen
Sebagai pengguna rutin Air Asia saya secara konsisten mendapat email survei segera setelah saya terbang untuk menanyakan pengalaman saya terbang bersama mereka. Hal yang saya tidak terima dari Garuda. Mendengarkan suara pelanggan adalah kunci sukses bagi Air Asia dalam meraup pasar Indonesia yang sangat besar ini.

Tidak heran Tony Fernandez memindahkan kantor pusat Air Asia justru ke Indonesia, bukan di Malaysia sebagai tempat asal mula Air Asia. Tentu saja, karena pasar Indonesia yang sangat gemuk.
Tentu saja, karena maskapai milik negeri ini masih tertatih-tatih dengan pelayanan yang baik. Meskipun disebut memenangkan berbagai penghargaan tetapi bagi saya Garuda masih perlu banyak berbenah.


Catatan penulis: Jika Anda ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana memberikan layang yang outstanding silahkan membaca buku terbaru saya berjudul How to Create Outstanding Service yang sudah ada di toko buku terkemuka di Indonesia.

Foto: diunduh dari www.thestar.com.my

Monday, 17 October 2011

Bagaimana Blue Bird memukau Pelanggan


Saya pelanggan setia Blue Bird sejak dulu. Sejak mereka belum seterkenal sekarang. Pemakaian jasa Blue Bird terutama ketika saya pergi ke dan pulang dari bandara untuk tugas ke luar kota.
Suatu saat di bulan September 2011 saya dibuat panik ketika taxi Blue Bird yang saya pesan tidak kunjung tiba. Saya pesan untuk pukul 06.30 pagi. Biasanya taxi akan datang 15 menit sebelum waktu yang diminta. Tidak kali itu. Sudah 06.30 lewat masih belum muncul juga. Saya menelpon berkali-kali ke call centre Blue Bird dan tentu saja dengan nada marah karena menurut perhitungan perjalanan ke bandara 40 menit. Jika mereka meleset maka saya akan telat melakukan check in yaitu 1 jam sebelum keberangkatan (penerbangan dalam negeri). Setelah menelpon 10 kali akhirnya datang juga taxi Blue Bird. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, jadi untuk tiba satu jam sebelum waktu keberangkatan sudah pasti gagal. Hebatnya dalam perjalanan ke bandara bersama taxi Blue Bird petugas call center menelpon saya dua kali untuk meminta nomor tiket saya dan nomor penerbangan saya. Yang kedua, untuk memastikan bahwa saya sudah di taxi yang tepat. Rupanya mereka akan melakukan check-in untuk saya. Hati saya agak tenang.
Sopir Blue Bird yang membawa saya membawa kendaraan dengan kencang. Saya menegur sopir untuk tidak melanggar batas kecepatan juga karena saya yakin bahwa mereka sudah melakukan check-in untuk saya.
Saya tiba di bandara pukul 07.35. Ketika saya tiba di counter maskapai penerbangan betul saja nama saya sudah dilakukan proses check-in.
Hal ini adalah hal yang tidak saya duga sebelumnya. Saya merasa salut dengan tindakan cekatan dari petugas call center Blue Bird dalam mengatasi kesalahan yang mereka buat dan menggunakannya untuk membalik keadaan menjadi sebuah pujian.
Anda lihat sendiri, saya dengan rela menulis pengalaman indah ini bagi mereka. Kekecewaan saya terbayar dengan tindakan tepat yang mereka lakukan.
Anda bisa saja membuat kesalahan dalam melayani pelanggan tetapi jangan pernah kehilangan kesempatan untuk menjadikan kesalahan menjadi titik balik dalam memukau pelanggan. Patut dicontoh di tengah buruknya layanan publik di negara ini.

Wednesday, 31 August 2011

Menjawab Kebutuhan Pelanggan (Strategi Pelayanan di saat Liburan)

Jakarta, lebaran tahun 2011,
Saat-saat menjelang lebaran Jakarta menjadi kota yang sangat ideal sekaligus sangat tidak ideal. Di satu sisi kota Jakarta menjadi kota yang nyaman untuk berlalu lalang namun bagi warga Jakarta yang tidak pulang kampung dan sedang ditinggal oleh staff rumah tangga maka makan di luar rumah merupakan pilihan yang paling banyak dipilih.
Namun warga Jakarta juga harus dihadapkan pada fakta bahwa para penjual makanan pun tidak semuanya buka. Beberapa di antaranya malah menimbulkan kekecewaan karena tidak jelasnya informasi kapan mereka mulai libur dan kapan mereka akan mulai beroperasi lagi.
Yang menarik, sore tadi saya berkesempatan makan di sebuah toko bakmi. Sambil makan saya melihat pengumuman yang dipasang:“Liburan 30 Agustus-8 September kami tetap buka, tutup 9-13 September 2011”. Apa yang menarik?
Bagi saya, ini adalah strategi pebisnis menjawab kebutuhan konsumen yang sesungguhnya. Justru ketika pelanggan menghadapi kelangkaan pasokan makanan, justru toko bakmi ini tetap buka. Mereka baru akan tutup di saat bisnis kembali seperti semula.
Terkadang di tengah persaingan yang sangat ketat amat sulit untuk membuat perbedaan. Harga seringkali dijadikan alat bersaing. Namun seperti yang kerap diutarakan ahli strategi pemasaran, harga bukanlah satu-satunya alat untuk berperang maka strategi pelayanan seperti yang ditunjukkan oleh pengusaha bakmi tadi merupakan hal yang patut dipertimbangkan.
Selain itu, saat semua toko bakmi tutup maka hampir dipastikan toko bakmi ini akan menikmati masa panen yang luar biasa. Seperti kita ketahui, bisnis bakmi adalah bisnis yang paling umum. Hampir di setiap pojok jalan bisa ditemui toko bakmi. Tetapi, menjadi satu-satunya toko bakmi yang beroperasi..., itu kesempatan sekali dalam setahun.

Tuesday, 31 May 2011

Mohon Tidak Memberikan Tips


Tulisan “Mohon Tidak Memberikan Tips” mulanya terpasang pada tempat parkir di sebuah mal di Jakarta Selatan dengan inisial PIM. Tulisan itu ditujukan kepada pengemudi agar tidak memberikan tips kepada petugas keamanan yang menjaga di parkiran. Sekilas tulisan ajakan tersebut bernada kejam kepada mereka satpam atau pun petugas parkir yang bertugas di area parkir mal namun saya pribadi sangat mendukung upaya pengelola mal melakukan kebijakan itu.

Sudah sepantasnya petugas di area parkir melayani dengan sungguh-sungguh, bukan karena berharap mendapatkan tips (uang service) dari pengunjung. Adanya larangan tersebut membuat pengunjung merasa lebih nyaman karena terhindar dari perasaan tidak enak jika tidak memberi tips.

Kedua, sudah bukan rahasia lagi, petugas yang berharap dapat uang tips seringkali membuat situasi area parkir jadi lebih kacau. Bahkan dibuat sedemikian rupa agar terlihat bekerja dengan cara mendorong-dorong mobil yang diparkir seenaknya sehingga mau tidak mau pengunjung yang sudah dibantu merasa tidak enak hati kalau tidak memberi uang tips.

Langkah pengelola mal tersebut mencerminkan pengelolaan mal yang baik secara keseluruhan, tidak heran mal tersebut tetap ramai dikunjungi meskipun mal-mal baru yang lebih besar sudah buka. Beberapa mal baru meniru langkah yang dilakukan mal PIM tersebut dengan memasang tulisan “Mohon Tidak Memberikan Tips”.

Dulu saya mendengar, jika ada yang ketahuan menerima tips maka akan dipecat. Hal itu membuat petugas patuh. Pernah suatu ketika saya melihat petugas menolak habis-habisan ketika seorang pengemudi mengulurkan tips.

Sekarang keadaan berubah, perasaan kagum saya sudah luntur. Beberapa kali saya lihat petugas menerima uang tips dari beberapa pengemudi. Meskipun mereka tidak minta, menerima bukanlah hal yang dibenarkan jika itu sudah merupakan peraturan dari atasan. Sesuatu yang diterima secara rutin akan dianggap sebagai hak. Hal ini akan merusak pelayanan tulus yang selama ini berkembang menjadi pelayanan dengan suatu harapan yaitu diberi tips.

Memang tidak gampang mempertahankan hal yang baik. Perlu kontrol dari manajemen. Perlu dibuka saluran di mana kontrol sosial bisa bertumbuh.

Foto: hanya ilustrasi, menggambarkan hal serupa sudah menjadi praktek umum di negara lain (sumber: http://farm3.static.flickr.com/2234/2951617719_490883f308.jpg)


Friday, 12 November 2010

Berapa besar Anda Kehilangan Pelanggan?



100 pelanggan yg tidak puas hanya 4% saja yang komplain,sisanya just go away,91%di antaranya tidak akan kembali selamanya-service excellence
Jika kita memperhatikan hasil survei di atas maka setiap dari kita akan tahu cara menghitung berapa besar pelanggan kita yang “lari”.

Cara Pelanggan Komplain?
Tetapi sebelum Anda bisa mulai menghitung pertama yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara pelanggan komplain. Kalau begitu mari kita cek daftar berikut:
• Apakah kita menyediakan kotak saran?
• Apakah kita menyediakan hotlines di mana pelanggan bisa komplain atau menghubungi/sms jika mereka tidak puas?
• Apakah kita punya website, email address, facebook fans page di mana konsumen bisa menghubungi kita?
Jika tidak maka itu adalah Pekerjaan Rumah pertama kita; menyediakan dulu saluran bagi pelanggan untuk bisa komplain atau menyampaikan masukan bagi perusahaan kita. Jika Anda tidak punya sarana itu, berarti tertutup pula kesempatan untuk menerima masukan tetapi yang lebih penting adalah kita tidak bisa menghitung berapa sesungguhnya kita telah dan akan kehilangan pelanggan.

Cara Menghitung
Jika kita sudah menyediakan sarana bagi pelanggan untuk komplain, misalkan, kita menerima 15 komplain dari pelanggan lewat berbagai salauran tadi, maka sesungguhnya kita telah kehilangan pelanggan sebanyak 360 pelanggan yang tidak komplain dan juga tidak menyampaikan keluhannya. Dari 360 pelanggan tersebut akan ada 91% atau 327 pelanggan yang tidak akan kembali selamanya. Saya rasa itu bukan angka yang kecil untuk diabaikan.
Karena itu anjurannya adalah: perbaiki cara Anda melayani pelanggan. Bisnis kita hidup dari pelanggan yang loyal , atau pelanggan yang kembali lagi dan lagi.

Sunday, 28 March 2010

Bagaimana Rasanya Tertinggal Pesawat?


Bagi orang yang sangat merencanakan segala sesuatu pengalaman tertinggal pesawat bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Bulan lalu saya mengalaminya. Dalam penerbangan pulang dari Ende saya harus mendarat di Kupang untuk menanti penerbangan Garuda menuju ke Jakarta via Denpasar.
Karena jarak antara waktu mendarat di Kupang dan berangkat lagi masih lebih kurang 2 jam, saya memberanikan diri keluar dari bandara untuk menemui calon klien yang berdomisili di Kupang. Saking asyiknya dan keteledoran saya mengantisipasi waktu, saya baru kembali ke bandara El Tari Kupang pas pukul 14.00 di mana pada saat itu pintu pesawat sudah ditutup dan pesawat sedang didorong dari posisi parkirnya. Perasaan sesak di dada dan kebingungan karena langsung terlintas di kepala saya pertanyaan “Bagaimana caranya saya kembali ke Jakarta hari ini?”.
Petugas Garuda yang menghentikan laju saya untuk masuk ke ruang keberangkatan segera meminta tiket saya dan mengatakan akan membantu saya mencarikan penerbangan lain. Satu-satunya yang masih mungkin adalah menggunakan pesawat dengan inisial SA yang akan berangkat ke Jakarta via Surabaya pukul 17.00-an. Seorang petugas dari kantor Garuda mempersilahkan saya memasuki kantor Station Garuda di bandara sambil menunggu rekannya yang mengurus pemesanan tiket dari kantor SA. Tampak sekali upaya mereka (petugas darat Garuda) untuk menyenangkan saya selagi saya menunggu. Station Manager Garuda berusaha mengajak saya mengobrol, memberikan surat kabar untuk dibaca, dan menyediakan air minum.
Saya sangat tidak sabar untuk mengetahui proses pembelian tiket dari SA sehingga saya menyusul ke kantornya yang terletak di bagian luar bandara. Saya memasuki kantor SA untuk menanyakan apakah ada petugas Garuda yang memesankan tiket buat saya. Petugas SA yang saya temui tampak sedang menghitung segepok uang dan tidak terlalu antusias melayani saya sambil menjawab sekenanya bahwa tiket habis. Agak aneh sebenarnya. Bukankah dia seharusnya sangat antusias ketika ada calon penumpang memasuki kantornya? Bukankah ini adalah moment of truth, saat di mana seorang pelanggan bersentuhan dengan perusahaan kita, di saat itulah momen kebenaran dari apa dan siapa bisnis kita di mata pelanggan ditampilkan. Persentuhan yang sangat sebentar tersebut menimbulkan kesan yang sangat buruk di mata saya sebagi calon penumpang yang dalam keadaan sangat membutuhkan. Kalau saja petugas SA tadi memiliki sikap melayani yang sangat tinggi maka saat itu adalah saat yang paling tepat untuk memberikan kesan baik di mata calon penumpang. Yang terjadi justru sebaliknya, petugas Garuda yang berjanji akan membantu saya kembali menenangkan saya dan meminta saya untuk menunggu di kantor Garuda dan dia akan tetap mengupayakan mendapatkan tiket dari SA.
Beberapa menit kemudian petugas Garuda datang kepada saya untuk memberitahukan bahwa dia berhasil mendapatkan tiket buat saya dan menyebutkan harga dari tiket tersebut. Saya sudah tidak punya pilihan dan mengiyakan saja harga yang disebutkan tersebut.
Saya kemudian di bawa ke counter check-in SA. Lagi-lagi saya melihat betapa tidak antusiasnya pelayanan dari petugas counter check-in SA tersebut. Yang harus pontang-panting kembali ke kantor SA adalah petugas Garuda yang sebenarnya hanya dalam posisi membantu saya. Bukankah yang akan menikmati tambahan sales adalah Sriwijaya Air. Mengapa orang lain yang lebih antusias membantu?

Sunday, 7 March 2010

The Invisible Customer (Pelanggan yang Tak Kelihatan)


Pagi ini saya mengunjungi sebuah pusat belanja berinisial “S” yang sangat tersohor itu yang berlokasi di jalan Thamrin. Lokasi yang sangat prima ini sangat bertolak belakang dengan situasi di area parkirnya yang tampak sepi-sepi saja. Padahal, di beberapa pusat belanja lain di sekitar situ seperti Plaza Indonesia dan Grand Indonesia, hari Minggu adalah hari yang paling ditunggu untuk berjualan, hari yang padat, dan susah mencari tempat parkir apalagi ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 .

Saya masuk dari pintu samping kiri toko. Kalau beberapa waktu lalu ada beberapa petugas berpakaian batik di pintu masuk, hari ini tidak ada lagi. Beberapa SPG tampak sedang sibuk sendiri dengan pekerjaannya dan beberapa di antaranya bersolek di counternya secara kasat mata.

Saya berhasil melewati lantai 1 tanpa disapa seorang pun dari SPG-SPG yang seharusnya senang jika ada pengunjung masuk ke tokonya. Bukankah itu adalah tujuan dari keberadaan sebuah toko dibuka, dan itu adalah tugas utama mereka (para SPG yang telah dibayar oleh masing-masing pemilik merek dari barang dagangan) untuk membantu dan melayani kebutuhan pengunjung pusat belanja tersebut. Apakah saya dan beberapa pengunjung lain adalah pelanggan yang tidak kelihatan sehingga luput dari sapaan mereka?

Saya berhasil naik ke lantai 2 dan lantai-lantai selanjutnya dengan selamat, lagi-lagi tanpa mendapat tegur sapa dari seorangpun. Saya tertarik dengan sebuah tanda yang mengatakan bahwa Handycraft ada di lantai 7. Maka saya bergerak menuju ke lantai tersebut. Benar saja, rupanya ini adalah lantai yang paling dulu diselesaikan. Tampaknya ini adalah kekuatan mereka.

Penampilan satu lantai ini benar-benar baru dan tampak modern sekali. Berbeda dengan lantai-lantai di bawahnya. Yang paling menyolok mata saya adalah banyaknya jumlah staff penjualan dengan seragam barunya. Sungguh apik. Penerangannya pun berbeda dibanding lantai-lantai yang belum selesai dibenahi.

Saya mengelilingi setiap pelosok dari lantai tersebut sambil terkagum-kagum dengan kelengkapan produk handycraft-nya. Lagi-lagi, terasa ada yang kurang. Ya…, lagi-lagi, saya tidak terlihat sehingga dari sekian banyak staff penjualan yang ada di seluruh lantai tersebut, tidak ada seorangpun yang menyapa, paling sedikit untuk mengucapkan: “Selamat datang”, atau “Selamat pagi/siang”. Mereka lebih memilih bercanda dengan sesama mereka (tampak pada foto).

Pusat belanja yang seharusnya mencerminkan keramahan bangsa Indonesia sesuai dengan impian pendirinya benar-benar telah kehilangan jati dirinya. Pembenahan fisik seolah-olah menjadi tujuan utama. Lupa atau tidak mampu memberikan pelayanan. Tidak heran lapangan parkir yang tidak seberapa luas itu tak juga kunjung penuh. Nyata sekali dampak dari lemahnya pelayanan terhadap keberhasilan merebut hati pengunjung. Semoga ini menjadi pelajaran bagi setiap peritel yang ingin menggaet lebih banyak pengunjung.